Rabu, 29 Juli 2009

Tugas Baca

B. Cooperative Learning

1. Pendekatan, Metode, dan Teknik

Istilah pendekatan, metode dan teknik bukanlah hal yang asing dalam pembelajaran agama Islam. Pendekatan dapat diartikan sebagai seperangkat asumsi yang berkenaan dengan hakikat dan belajar mengajar agama Islam.

Menurut Sanjaya mengutip pendapat Roy Killen ada dua istilah pendekatan (approach) yang dapat digunakan oleh guru dalam proses pembelajaran yaitu, pendekatan yang berorientasi kepada guru (teacher – centered approaches) dan pendekatan yang berorientasi kepada siswa (studen – centered approaches). [1]

Selain itu Djamarah dan Zain mengungkapkan beberapa pendekatan dalam kegiatan pembelajaran, yaitu pendekatan individual, pendekatan kelompok, pendekatan bervariasi, pendekatan edukatif, pendekatan pengalaman, pendekatan pembiasaan, pendekatan emosional, pendekatan rasional, pendekatan keagamaan, pendekatan fungsional dan pendekatan kebermaknaan. [2]

Sedangkan Tolkhah dalam Abdul Madjid mengungkapkan beberapa pendekatan yang perlu mendapatkan kajian lebih lanjut berkaitan dengan pembelajaran agama Islam di antaranya, pendekatan psikologis, dan pendekatan sosio kultural. [3]

Pendekatan psikologis perlu dipertimbanngkan mengingat aspek psikologis masyarakat yang meliputi aspek-aspek rasional, aspek emosional, dan aspek ingatan.

Sedangkan pendekatan sosio kultural, melihat dimensi manusia tidak saja sebagai individu melainkan juga sebagai mahluk sosial budaya yang memiliki berbagai potensi bagi pengembangan masyarakat dan budaya.

Metode berasal dari bahasa Greek atau Yunani yakni metha berarti melalui, dan hodos artinya cara, jalan, alat atau gaya, jadi metodos berarti jalan yang telah lalu dan metode berarti jalan yang telah dilalui.[4] Metode adalah rencana menyeluruh tentang penyajian materi ajar secara sistematis dan berdasarkan pendekatan yang ditentukan.

Secara istilah menurut H. Muzayyin Arifin, metode yaitu suatu alat atau cara untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.[5]

Menurut Muhibbin Syah, metode secara harfiah berarti “cara”. Dalam pemakaian yang umum metode diartikan sebagai cara melakukan sesuatu kegiatan atau cara melakukan pekerjaan dengan menggunakan fakta dan konsep-konsep secara sistematis.[6] Sedangkan teknik adalah kegiatan spesifik yang diimplementasikan dalam kelas sesuai dengan metode dan pendekatan yang dipilih.

Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa pendekatan bersifat aksiomatis, metode bersifat prosedural dan teknik bersifat operasional (implementasi).

Pendekatan dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran. Istilah pendekatan lebih merujuk kepada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum. Sedangkan metode bersifat procedural, maksudnya adalah cara yang tepat dan cepat dalam melakukan sesuatu, dan teknik adalah cara yang dilakukan seseorang dalam rangka mengimplementasikan metode. Misalnya cara yang bagaimana yang harus dilakukan berjalan efeltif dan efesien? Dengan demikian, sebelum seseorang melakukan proses ceramah sebaiknya memperhatikan kondisi dan situasi. Misalnya berceramah pada siang hari dengan jumlah siswa yang banyak tentu saja akan berbeda jika ceramah itu dilakukan pada pagi hari dengan jumlah siswa yang terbatas.[7]

2. Cooperative Learning Sebagai Pendekatan Pembelajaran

a. Pengertian Pembelajaran Cooperative

Menurut Hamid Hasan, Cooperative mengandung pengertian bekerja bersama dalam mencapai tujuan bersama.

Cooperative Learning adalah satu pendekatan yang digunakan dalam model pembelajaran konstruktivisme. Pembelajaran konstruktivisme menurut anggapan Paul Suparno adalah pengetahuan merupakan kostruksi (bentuk) dari orang yang mengetahui sesuatu itu sendiri, konstruksivisme menekankan peran aktif siswa karena pengetahuan dibentuk oleh siswa secara aktif dan bukan hanya sekedar diterima secara pasif dari guru.14 Cooperative learning merupakan salah satu pendekatan yang digunakan dalam model pembelajaran konstruktivistik. Pembelajaran konstruktivistik merupakan proses aktif dari pelajar untuk membangun pengetahuan, bukan hanya bersifat mental tetapi juga keaktifan fisik, artinya melalui aktivitas secara fisik pengetahuan siswa secara aktif dibangun berdasarkan proses asimilasi pengalaman atau bahan yang dipelajari dengan pengetahuan yang telah dimiliki pelajaran dan ini berlangsung secara mental. Dengan demikian hakikat dari pembelajaran ini adalah membangun pendekatan.

Cara belajar mengajar di sekolah yang berdasarkan pada teori konstruktivisme adalah cara belajar yang menekankan murid dalam membentuk pengetahuannya, sedangkan guru lebih berperan sebagai fasilitator yang membantu keaktifan murid tersebut dalam pembentukan pengetahuannya.15

Cooperative learning mencakup suatu kelompok kecil siswa yang bekerja sebagai sebuah tim untuk menyelesaikan sebuah masalah, menyelesaikan tugas, atau mengerjakan untuk mencapai tujuan bersama lainnya. Dari uraian di atas dapat diartikan bahwa cooperative learning adalah suatu model pengajaran dimana siswa belajar dan bekerja dalam suatu kelompok kecil, mereka pun saling membantu, saling berdiskusi dan berargumentasi dalam memahami suatu materi pelajaran dan bekerjasama dalam mengerjakan tugas atau lembar kerja, baik dalam bentuk tutorial sebaya, latihan dan koreksi sebaya. Sehingga pembelajaran dapat membantu dalam meminimalisir perbedaan pemahaman dan penguasaan terhadap materi pelajaran dari setiap individu siswa.

Walaupun pada dasarnya cooperative learning diterapkan dalam bentuk kelompok belajar, tetapi berbeda dengan kelompok tradisional. Kelompok belajar tradisional maksudnya adalah yang sering diterapkan di sekolah seperti kelompok diskusi, kelompok tugas dan kelompok belajar lainnya16. Perbedaan kelompok belajar bersebut dapat dilihat pada table berikut:

Tabel 2.1

Perbedaan kelompok belajar kooperatif dengan kelompok belajar tradisional.

Kelompok belajar kooperatif

Kelompok belajar tradisional

1. Adanya saling ketergantungan positif

2. Adanya akuntabilitas individu

3. Kelompok heterogen

4. Terjadi saling transfer sikap kepemimpinan

5. Sama-sama bertanggung jawab terhadap tiap anggota kelompok yang lain

6. Menekankan pada penyelesaian tugas dan mempertahankan hubungan

7. Keterampilan sosial diajarkan secara langsung

8. Guru melakukan observasi dan intervensi

9. Guru memperhatikan proses kelompok belajar sehingga efektif

1. Tidak ada saling ketergantungan positif

2. Tidak ada akuntabilitas individu

3. Kelompok homogen

4. Hanya bergantung pada satu orang pemimpin

5. Tanggung jawab hanya untuk diri sendiri

6. Hanya menekankan pada penyelesaikan tugas

7. Keterampilan sosial hanya diasumsikan dan diabaikan

8. Guru mengabaikan fungsi kelompok belajar

9. Guru tidak memperhatikan proses kelompok belajar

Pandangan konstruktivisme menyatakan bahwa pengetahuan dibangun dalam pikiran pembelajaran yang berlangsung melalui proses assimilasi atau akomodasi yang dilandasi oleh struktur kognitif pada diri pelajar yang telah ada sebelumnya, sehingga dalam proses pembelajaran konstruktivisme siswa aktif secara mental dalam membangun pengetahuannya sementara guru berperan sebagai fasilitator yang kreatif.17

Menurut Jacobson : “cooperative learning adalah sebuah bentuk dari strategi mengajar yang didisain untuk mendukung kerjasama didalam kelompok dan interaksi di antara siswa. Strategi ini dibuat untuk mengurangi kompetisi yang ditemukan dibanyak ruang kelas, yang dapat menimbulkan siapa menang dan siapa kalah dan menurunkan motivasi siswa untuk saling membantu dengan tujuan yang sama.18

Cooperative learning mencakup suatu kelompok kecil siswa yang bekerja sebagai sebuah tim untuk menyelesaikan sebuah masalah, menyelesaikan suatu tugas, atau mengerjakan sesuatu untuk mencapai tujuan bersama lainnya. Tidaklah cukup menunjukan cooperative learning jika para siswa duduk bersama dalam kelompok-kelompok kecil tetapi menyelesaikan masalah sendiri-sendiri.

Bukanlah cooperative learning jika para siswa duduk bersama dalam kelompok-kelompok kecil dan mempersilakan salah seorang diantaranya untuk menyelesaikan seluruh pekerjaan kelompok. Cooperative learning menekankan pada kehadiran teman sebaya yang berinteraksi antar sesamanya sebagai sebuah tim dalam menyelesaikan atau membahas suatu masalah atau tugas.

Cooperative learning lebih dari sekedar belajar kelompok atau kelompok kerja, karena dalam medel cooperative learning harus ada “ struktur dorongan dan tugas yang bersifat cooperative” sehingga memungkinkan terjadinya interaksi secara terbuka dan hubungan-hubungan yang bersifat interdependensi yang efektif di antara anggota kelompok. Keberhasilan belajar bukan semata ditentukan oleh kemampuan individu secara utuh, melainkan perolehan belajar itu akan semakin baik apabila dilakukan secara bersama-sama dalam kelompok-kelompok belajar kecil yang terstruktur dengan baik.[8] Di samping itu, pola hubungan kerja seperti itu memungkinkan timbulnya persepsi yang positif tentang apa yang dapat mereka lakukan untuk berhasil berdasarkan kemampuan dirinya secra individual dan sumbangsih dari anggota lainnya selama mereka belajar secara bersama-sama dalam kelompok.20

Ada beberapa hal yang perlu dipenuhi cooperative learning agar lebih menjamin para siswa bekerja secara kooperatif, hal-hal tersebut meliputi :

Pertama, para siswa yang tergabung dalam suatu kelompok harus merasa bahwa mereka adalah bagian dari sebuah tim dan mempunyai tujuan bersama yang harus dicapai.

Kedua, para siswa yang tergabung dalam sebuah kelompok harus menyadari bahwa masalah yang mereka hadapi adalah masalah kelompok dan bahwa berhasil atau tidaknya kelompok itu akan menjadi tanggung jawab bersama oleh seluruh anggota kelompok itu.

Ketiga, untuk mencapai hasil yang maksimum, para siswa yang tergabung dalam kelompok itu harus berbicara satu sama lain dalam mendiskusikan masalah yang dihadapinya. Akhirnya, para siswa yang tergabung dalam suatu kelompok harus menyadari bahwa setiap pekerjaan siswa mempunyai akibat langsung pada keberhasilan kelompoknya. 21

Beberapa manfaat proses cooperative learning, menurut Anita Lie yaitu : siswa dapat meningkatkan kemampuannya untuk bekerja sama dengan siswa lain, mempunyai lebih banyak kesempatan untuk menghargai perbedaan, mengurangi kecemasan siswa, meningkatkan partisipasi dalam proses pembelajaran, motivasi, harga diri, sikap positif, dan prestasi belajar siswa. 22

Ironisnya, model cooperative learning belum banyak diterapkan dalam pendidikan, walaupun orang Indonesia sangat membanggakan sifat gotong royong dalam kehidupan bermasyarakat. Kebanyakan pengajar enggan menerapkan sistem kerja sama di dalam kelas karena beberapa alasan. Alasan yang utama adalah kekhawatiran bahwa akan terjadi kekacauan di kelas dan siswa tidak belajar jika mereka ditempatkan dalam group. Selain itu, banyak orang yang mempunyai kesan negatif mengenai kegiatan kerja sama atau belajar dalam kelompok. Banyak siswa juga tidak senang disuruh kerjasama dengan yang lain. Siswa yang tekun harus bekerja melebihi siswa yang lain dalam group mereka. Sedangkan siswa yang kurang mampu merasa minder ditempatkan dalam satu group dengan siswa yang lebih pandai. Siswa yang tekun juga merasa temannya yang kurang mampu hanya nunut saja hasil jerih payah mereka.

Sebenarnya, pembagian kerja yang kurang adil tidak perlu terjadi dalam kerja kelompok, jika pengajar benar-benar menerapkan prosedur model cooperative learning. Banyak pengajar hanya membagi siswa dalam kelompok lalu memberi tugas untuk menyelesaikan sesuatu tanpa pedoman mengenai pembagian tugas. Akibatnya, siswa merasa ditinggal sendiri karena mereka belum berpengalaman, merasa bingung dan tidak tahu bagaimana harus bekerja menyelesaikan tugas tersebut kekacauan dan kegaduhan yang terjadi.

Model cooperative learning tidak sama dengan sekedar belajar dalam kelompok. Ada unsur-unsur dasar cooperative learning yang membedakannya dengan pembagian kelompok yang dilakukan asal-asalan. Pelaksanaan prosedur model cooperative learning dengan benar akan memungkinkan pendidik mengelola kelas dengan lebih efektif.23

Slavin dan Stahl mengatakan bahwa, cooperative learning lebih dari sekedar belajar kelompok atau kelompok kerja, karena belajar model cooperative learning harus ada “struktur dorongan dan tugas yang bersifat kooperatif”, sehingga memungkinkan terjadinya interaksi secara terbuka dan hubungan-hubungan yang bersifat interdependensi yang efektif diantara anggota kelompok. Di samping itu, pola hubungan kerja seperti itu memungkinkan timbulnya persepsi yang positif tentang apa yang dapat mereka lakukan untuk berhasil berdasarkan kemampuan dirinya secara individual dan sumbangsih dari anggota lainnya selama mereka belajar secara bersama-sama dalam kelompok. Stahl, mengatakan bahwa model pembelajaran cooperative learning menempatkan siswa sebagai bagian dari suatu sistem kerja sama dalam mencapai suatu hasil yang optimal dalam belajar.

Slavin, sebagaimana dikutip oleh Etin Solihatin mengatakan bahwa, model pembelajaran ini berangkat dari asumsi mendasar dalam kehidupan masyarakat yaitu : “getting better together”, atau raihlah yang lebih baik secara bersama-sama.

Aplikasinya dalam pembelajaran di kelas, model pembelajaran ini mengetengahkan realita kehidupan masyarakat yang dirasakan dan dialami oleh siswa dalam kesehariannya dalam bentuk yang disederhanakan dalam kehidupan di kelas. Model pembelajaran ini memandang bahwa keberhasilan dalam belajar bukan semata-mata harus diperoleh dari guru, melainkan bisa juga dari pihak lain yang terlibat dalam pembelajaran itu, yaitu teman sebayanya.

Michael mengatakan bahwa, cooperative learning is more effective in increasing motive and performance student Model pembelajaran cooperative learning mendorong peningkatan kemampuan siswa dalam memecahkan berbagai permasalahan yang ditemui selama pembelajaran, karena siswa dapat bekerja sama dengan siswa lain dalam menemukan dan merumuskan alternatif pemecahan terhadap masalah materi yang dihadapi.

Berdasarkan pengertian tersebut, mereka dalam pembelajaran dengan menggunakan model cooperative learning, pengembangan kualitas diri siswa terutama aspek efektif siswa dilakukan bersama-sama. Belajar dalam kelompok kecil dengan prinsip kooperatif sangat baik digunakan untuk mencapai tujuan belajar, baik yang bersifat kognitif, afektif, maupun konatif. Suasana belajar yang berlangsung dalam interaksi yang saling percaya, terbuka dan rileks diantara anggota kelompok memberikan kesempatan bagi siswa untuk memperoleh dan memberi masukan diantara mereka untuk mengembangkan pengetahuan, sikap, nilai, dan moral, serta keterampilan yang ingin dikembangkan dalam pembelajaran.24

Dalam pembelajaran cooperative learning semua anggota dituntut memberikan urunan pendapat, ide, dan pemecahan masalah sehingga dapat tercapai tujuan belajar. Anggota kelompok belajar cooperative learning harus saling membantu, kerja sama dan bertanggung jawab dalam memahami suatu pokok bahasan.25

Pembelajaran cooperative telah diteliti dan dikembangkan oleh beberapa universitas, diantaranya Universitas John Hoopkins. Mereka menemukan teknik-teknik belajar cooperative, pada praktiknya menggunakan metode Student teams learning (STL). Pada STL menekankan bahwa pencapaian tujuan dan kesuksesan kelompok dilakukan dengan cara kerja sama antar anggota kelompok yang efektif. Kerja sama kelompok tersebut tidak hanya pada penyelesaian tugas, tetapi juga pada saat memahami suatu pokok bahasan, seperti yang diungkapkan Slavin bahwa STL siswa tidak hanya bekerja dalam mengerjakan sesuatu secara kelompok, tetapi juga dalam memahami dan mempelajari sesuatu secara kelompok.

Essensi cooperative learning adalah tanggung jawab individu sekaligus kelompok, sehingga dalam diri siswa terbentuk sikap ketergantungan positif (positive interdependence) yang menjadikan kerja kelompok berjalan optimal. Keadaan ini mendorong siswa dalam kelompoknya belajar, bekerja, dan bertanggung jawab dengan sungguh-sungguh sampai dengan selesai tugas-tugas individu dan kelompok. Oleh karena itu, siswa dalam kerja kelompok tidak menjadi “penumpang gelap” (hitch-hike), “pasrah” kepada teman asal, namanya tercantum sebagai anggota kelompok.26

Pembelajaran yang dikembangkan dari STL (Student Team Learning) memiliki banyak bentuk, diantaranya: STAD (Student Teams Achievement Division), TGT (Teams Games Tournament), TAI (Teams Assisted Individulization), CIRC (Cooperative Integrated Reading and Composition), Jigsaw .

STAD (Student Teams Achievement Division). Teknik pembelajaran ini merancang siswa dalam bentuk kelompok dengan beranggotakan 4-5 orang yang dicampur baik jenis kelamin, etnik dan kemampuan. Siswa dalam kelompok saling memotivasi, mendorong, dam membantu dalam menyelesaikan latihan atau tugas dan memahami suatu pelajaran.

TGT (Teams Games Tournament). Dalam teknik ini siswa setelah belajar dalam kelompoknya masing-masing angggota kelompok yang setingkat kemampuannya dalam suatu perbandingan atau turnamen yang dikenal dengan “tournament table”, yang diadakan tiap akhir unit pokok bahasan atau akhir pekan. Skor yang didapat akan memberikan konstribusi kepada rata-rata skor kelompok. Selanjutnya akan diuraikan lebih rinci.

TAI (Teams Assisted Individulization). Teknik mengkombinasikan belajar cooperative dengan belajar individu. Tiap anggota kelompok diberi soal-soal bertahap yang harus dikerjakan sendiri terlebih dahulu. Setelah itu mengecek hasil kerjanya dengan anggota lain. Bila seorang siswa telah mampu mengerjakan suatu soal pada suatu tahap maka siswa yang bersangkutan dapat mengerjakan soal pada tahap berikutnya.

CIRC (Cooperative Integrated Reading and Composition). Sejenis dengan TAI, hanya lebih ditekankan pada pengajaran membaca, menulis dan tata bahasa.

Jigsaw, Seperti STAD dan TGT siswa dikelompokkan tiap anggota kelompok diberi tugas berbeda satu dengan lainnya dari sebuah tema yang akan dibahas. Selanjutnya mereka memahami materi secara keseluruhan. Pemberi tes diberikan dengan materi menyeluruh.

Selain itu ada beberapa pembelajaran cooperative yaitu, Group Investigation, Learning Together, Co-op Co-op sebagainya. Teknik Jigsaw, Group investigation, dan Co-op Co-op adalah teknik cooperative learning yang mengutamakan tentang spesialisasi anggota kelompok di dalam kelompok.

Penghargaan kelompok (Teams Reward) diberikan kepada kelompok yang telah mencapai kriteria yang telah mencapai kriteria yang telah ditentukan. Penghargaan kelompok diharapkan sebagai penguatan yang dapat memotivasi anggota kelompok untuk belajar dan bekerja sebaik mungkin dalam memberikan konstribusi untuk kelompoknya agar menjadi kelompok yang terbaik. Dengan demikian tiap kelompok memiliki tujuan kelompok (group goal) yang merupakan sasaran yang harus dicapai semua anggota.

Akuntabilitas individu (Individual Accountability). Sebagai individu setiap siswa harus bertanggung jawab untuk belajar, mengerjakan tugas dan memahami materi yang diberikan. Tujuan dan kesuksesan kelompok ditentukan oleh kesungguhan semua anggota kelompok tersebut siap menghadapi tes perorangan.

Kesempatan yang sama meraih keberhasilan (Equal Opportunities For Success). Dalam suatu kelompok belajar cooperative semua anggota mempunyai kesempatan yang sama untuk meraih keberhasilan dan mengkontribusi nilai untuk pencapaian skor kelompok.

Roger dan David Johnson mengatakan bahwa tidak semua kerja kelompok bisa dianggap cooperative learning. Untuk mencapai hasil yang maksimal lima unsur model pembelajaran gotong royong harus diterapkan.

1. Saling ketergantungan positif

2. Tanggung jawab perseorangan

3. Tatap muka

4. Komunikasi antar anggota

5. Evaluasi proses kelompok

Elemen-elemen dasar tersebut merupakan hal yang sangat penting dalam proses perkembangan siswa menuju pendewasaan diri, diantaranya pendewasaan diri dalam proses belajar di sekolah. Dengan demikian dapat mempertinggi pencapaian hasil belajar siswa.

b. Landasan Teori Belajar Cooperative

Landasan teori yang melandasi dan mendukung pembelajaran cooperative ada dua kategori, yaitu teori motivasi dan teori kognitif.27

Pembahasan kedua teori tersebut adalah sebagai berikut:

1) Teori Motivasi

Motovasi belajar merupakan motor penggerak yang mengaktifkan siswa-siswa untuk melibatkan diri dalam belajar. Sebagai motor penggerak, motivasi memegang peranan penting dalam memberikan gairah dan semangat dalam belajar. Siswa yang bermotivasi kuat memiliki energi yang banyak untuk melakukan kegiatan belajar. Ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Ngalim Purwanto mengenai definisi motivasi, yaitu “pendorong” suatu usaha yang disadari untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang agar ia tergerak hatinya untuk bertindak melakukan sesuatu sehingga mencapai hasil atau tujuan tertentu.28

Dalam cooperative learning, ikatan kerjasama dalam suatu kelompok mengandung daya motivasional yang kuat, masing-masing anggota kelompok saling melibatkan diri untuk mencapai sasaran, karena mereka yakin bahwa tujuan belajar hanya dapat dicapai berkat kerjasama. Keyakinan ini berbeda dengan keyakinan bahwa tujuan yang dikejar hanya dapat dicapai bila orang lain tidak dapat mencapainya atau keyakinan bahwa sasaran yang dituju sendiri tidak ada hubungannya dengan sasaran orang lain. Bekerjasama berarti bahwa seorang siswa memperoleh atau meningkatkan motivasinya karena interaksi cooperative dengan teman sekelasnya sekaligus kebutuhan untuk menerima dan dapat diterima orang lain. Pada gilirannya, kadar motivasi yang lebih tinggi menghasilkan taraf prestasi yang lebih tinggi pula.

Motivasi belajar di sekolah dibedakan atas dua bentuk, yaitu:

a) Motivasi Instrinsik, yaitu motivasi yang timbul dari dalam diri sendiri yang tidak perlu diransang dari luar.

b) Motivasi Ekstrinsik, yaitu motivasi yang timbul karena ada peransang dari luar.

Menurut teori motivasi siwa pada cooperative learning terletak pada bagaimana bentuk struktur pencapaian tujuan saat siswa melaksanakan kegiatan. Pada cooperative learning siswa yakin bahwa tujuan mereka tercapai jika dan hanya siswa lain juga akan mencapai tujuan tersebut.

Selanjutnya guru dapat membangkitkan motivasi tersebut dalam kegiatan pembelajaran dengan menyesuaikan tingkat perkembangan siswa. Tentunya bagi siswa sekolah dasar dan sekolah menengah pertama, bentuk motivasi ekstrinsik masih dominan. Sedangkan bagi siswa menengah atas, bentuk motivasi instrinsik harus lebih domonan. Di dalam belajar mengajar peranan motivasi baik instrinsik maupun ekstrinsik sangat diperlukan. Dengan motivasi siswa dapat mengembangkan aktivitas dan inisiatif.

2) Teori Kognitif

Teori kognitif lebih menekankan pada efek dari kerjasama tersebut pada diri masing-masing siswa. Ada dua kategori utama yang merupakan bagian dari teori kognitif, yaitu:

a) Teori Perkembangan

Damon dan Murray berpendapat mengenai asumsi dasar teori perkembangan, yaitu bahwa “interaksi antar siswa terhadap tugas-tugas yang tepat atau sesuai dengan tingkat pengetahuan siswa dapat meningkatkan penguasaan konsep-konsep penting.29 Sedangkan Vygotsky mendefinisikan suatu teori tentang perkembangan yang dikenal dengan Zone of Proximal Development (ZPD) memberikan pandangan bahwa “aktivitas” kolaborasi dapat meningkatkan suatu pertumbuhan. 30 Maksudnya, apabila siswa dalam tingkat usia yang sama melakukan kolaborasi yaitu menyelesaikan permasalahan yang taraf kesulitannya masih berada dalam ZPD mereka, hasilnya akan lebih baik dan menguntungkan dibandingkan dengan mereka yang bekerja sendiri-sendiri.

b) Teori Elaborasi Kognitif

Wittrock mengungkapkan bahwa “di dalam psikologi kognitif telah ditemukan bahwa jika informasi yang telah tersimpan dalam ingatan dan selanjutnya dihubungkan dengan informasi yang baru, maka siswa harus melakukan penstrukturan kembali kognitifnya”. Ketika siswa melakukan kembali pengetahuannya tersebut dengan pengetahuan yang telah ada sehingga siswa tersebut akan memperoleh pemahaman yang lebih baik.

Pada cooperative learning di kelas biasanya akan terjadi tutorial diantara siswa, dimana siswa yang lebih memahami konsep atau materi pembelajaran (tutor) akan memberikan penjelasan kepada siswa lain dalam kelompoknya (tute). Struktur kognitif seorang tutor akan berbeda ketika memperoleh pemahamannya sendiri dibandingkan setelah memberikan tutorial. Peningkatan pemahaman juga terjadi pada siswa yang diberikan penjelasan. Dengan demikian baik tutor maupun tute akan memperoleh keuntungan dari proses tutorial.

Melalui cooperative learning ini siswa diberi kesempatan bukan hanya sekedar belajar tetapi juga saling mengajarkan satu sama lain. Sehingga siswa tidak berpikir sendiri dan mempertanggung jawabkannya, namun juga saling berbagi dalam proses pembelajaran. Dari dua landasan teori yang mendukung pelaksanaan cooperative learning tersebut, pada akhirnya akan mempertinggi pencapaian prestasi belajar siswa.31 Hubungan kedua teori dapat dilihat pada bagan 2.1

Bagan 2.1

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar

Dalam Belajar Kooperatif


c. Kelebihan Cooperative Learning

Cooperative learning sangat diperlu diterapkan dalam proses belajar mengajar di sekolah. Berdasarkan hasil-hasil yang dihimpun dapat membawa dampak positif. Ada beberapa kelebihan yang diperoleh dari cooperative learning antara lain adalah:

1) Mengajarkan nilai kerjasama.

2) Membangun komunikasi di dalam kelas.

3) Membantu siswa antara yang satu dengan yang lain, dan dapat mengurangi konflik personal.

4) Mengajarkan keterampilan hidup yang mendasar.

5) Meningkatkan prestasi akademik.

6) Meningkatkan kepercayaan diri dan terhadap sekolah.

7) Mengurangi efek negatif dari persaingan.

8) Meningkaykan keterampilan hidup bergotong royong

9) Meningkatkan hubungan positif antara siswa dengan siswa, antara siswa dengan guru, dan antara siswa dengan personal selolah lainnya.

Selain itu hasil belajar siswa dari cooperative learning cukup positif dibandingkan dengan pengajaran biasa atau pengajaran tradisional, seperti yang dikemukakan oleh Davinson bahwa:

Penelitian menunjukan pengaruh positif cooperative learning, yaitu:

1) Pencapaian hasil akademik.

2) Penghargaan dan kepercayaan dari pembelajaran.

3) Hubungan antar kelompok, mencakup lintas ras dan lintas budaya.

4) Penerimaan siswa secara sosial dalam lingkungannya.

5) Kemampuan menggunakan kemampuan keahlian sosial (bila diajarkan).32

Berikut ini diberikan beberapa hasil penelitian yang menunjukan manfaat cooperative learning bagi siswa dengan hasil belajar rendah, antara lain seperti berikut ini:

1) Meningkatkan pencurahan waktu pada tugas

2) Rasa harga diri menjadi lebih tinggi

3) Memperbaiki kehadiran

4) Angka putus sekolah menjadi rendah

5) Penerimaan terhadap perbedaan individu menjadi lebih besar

6) Perilaku mengganggu menjadi lebih kecil

7) Konflik antar pribadi berkurang

8) Sikap apatis berkurang

9) Pemahaman yang lebih mendalam

10) Motivasi lebih besar

11) Hasil belajar lebih tinggi

12) Retensi lebih lama

13) Meningkatkan kebaikan budi, dan kepekaan dan toleransi

Pembelajaran yang menerapkan model cooperative learning juga mampu membantu siswa dalam menumbuhkan sikap-sikap positif tertentu, tidak hanya menekankan berpikir dan tertunduk demokratif, pembelajaran aktif, perilaku cooperative dan menghormati perbedaan dalam masyarakat multi budaya.

Tujuan cooperative learning adalah menciptakan keberhasilan individu yang ditentukan atau dipengaruhi oleh keberhasilan kelompok. Beberapa keuntungan dalam cooperative learning antara lain:

1) Siswa bekerja sama mencapai tujuan dengan menjunjung norma-norma kelompok

2) Siswa aktif membantu dan mendorong semangat untuk sama-sama berhasil

3) Aktif berperan sebagai tutor sebaya untuk lebih meningkatkan keberhasilan kelompok

4) Interaksi antar siswa juga membantu meningkatkan perkembangan kognitif

Cooperative learning dapat digunakan pada hampir seluruh bagian kurikulum. Berbagai model dapat cocok bagi mata pelajaran dan tingkat kelas yang berbeda. Penggunaan dan adaptasi dari cooperative learning tanpa batas tergantung dari imajinasi dan gaya guru kelas. Cooperative learning dapat diterapkan pada tingkat pra sekolah, sekolah dasar, dari kelas I sampai dengan kelas VI, SMP dan SMU.

d. Kelemahan Cooperative Learning

Tidak ada pelajaran atau metode yang sempurna, pasti ada kelemahan dan kekurangannya, begitu juga dengan cooperative learning. Ada hal yang harus diperhatikan dalam cooperative learning dalam cooperative learning dapat menimbulkan efek “free rider’ yaitu dimana ada beberapa anggota kelompok yang mengerjakan semua atau sebagian pekerjaan dalam pembelajaran sedang yang lainnya jalan terus, tidak melakukan aktivitas33. Maksudnya aktivitas kadangkala hanya dilakukan oleh sekelompok siswa saja, sedangkan yang lainnya hanya ikut-ikutan.

Efek “free rider” terjadi ketika kelompok mempunyai tugas sendiri seperti : mengerjakan laporan pribadi, melengkapi lembar kerja pribadi atau membuat suatu proyek. Penguasaaan yang demikian dapat juga menciptakaan situasi di mana siswa-siswa yang dianggap berketerampilan rendah (less skillful) diabaikan oleh anggota-anggota kelompok yang lainnya.

Masalah ini dapat dieliminasi dengan meyakinkan siswa untuk bertanggung jawab sendiri selama pembelajaran berlangsung. Misalnya, dalam cooperative learning dengan metode STL (Student Teams Learning), kelompok akan memperoleh penghargaan (rewards) berdasarkan pada kontribusi skor kuis dari masing-masing anggota kelompok, sehingga jika masing-masing anggota kelompok yang belajar keras dan memberikan kontribusi yang besar bagi kelompoknya berupa skor kuis yang baik, maka kelompok tersebut akan menjadi kelompok terbaik dan memperoleh penghargaan. Dengan demikian diharapkan dalam kelompok tersebut tercipta suasana saling kerja sama, yang pandai dapat membantu yang kurang pandai berupa tutorial dan yang kurang pandai dapat bertanya kepada yang pandai. Sedang yang pandai akan semakin lebih memahami dan menguasai materi pelajaran.

3. Jigsaw Sebagai Teknik Cooperative Learning

a. PengertianTeknik Jigsaw

Pembelajaran metode Jigsaw ini dikembangkan oleh Aroson et al.,sebagai teknik cooperative learning, teknik ini bisa digunakan dalam pengajaran membaca, menulis, mendengarkan dan berbicara. Pendekatan ini bisa pula digunakan dalam mata pelajaran, seperti ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, matematika, agama, dan bahasa, model ini cocok untuk semua kelas dan tingkatan.

Teknik jigsaw dalam cooperative learning memiliki pemikiran dasar yakni memberi kesempatan siswa untuk berbagi dengan yang lain, mewujudkan sosialisasi yang berkesinambungan dan yang terpenting terjadinya proses belajar mengajar dimana siswa mengajar dan diajar oleh sesama siswa.

Dalam cooperative learning teknik jigsaw ini, guru memperhatikan latar belakang pengalaman siswa dan membantu siswa mengaktifkan skema agar bahan pelajaran lebih bermakna. Selain itu, siswa bekerja dengan sesama siswa dalam suasana gotong rayong dan mempunyai banyak kesempatan untuk mengolah informasi dan meningkatkan keterampilan berkomunikasi.34

Menurut Johnson cooperative learning teknik jigsaw adalah suatu metode belajar kelompok yang memiliki gambaran umum sebagai berikut :

1) Setiap anggota kelompok mempelajari salah satu bagian informasi yang berbeda dengan bagian informasi anggota lainnya

2) Setiap anggota kelompok bergantung pada anggota kelompok yang lainnya untuk mempelajari atau memahami informasi secara utuh.

3) Setiap anggota kelompok berbagi informasi dengan anggota kelompok lain dalam rangka memperoleh informasi secara utuh.

4) Setiap anggota kelompok menjadi pemilik atau ahli dari informasi sehingga kelompok bertanggung jawab dan menghargai masing-masing anggotanya.

Tidak ada satu pendekatan atau metode pun yang sempurna demikian juga dengan cooperative learning teknik jigsaw pasti mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kelebihan teknik jigsaw antara lain: mengajarkan nilai kerja sama, meningkatkan kepercayaan diri terhadap sekolah, membantu siswa antara satu dengan yang lain, meningkatkan keterampilan hidup bergotong royang. Kelemahan teknik jigsaw antara lain adalah saling mengandalkan satu sama lain pada saat diskusi, kemudian kurang senang ketika mendapat penjelasan materi dari temannya sendiri.

Jigsaw adalah suatu struktur multifungsi struktur kerjasama belajar. Jigsaw dapat digunakan dalam beberapa hal untuk mencapai berbagai tujuan tetapi terutama digunakan dalam beberapa hal untuk mencapai berbagai tujuan tetapi terutama digunakan untuk presentasi dan mendapatkan materi baru, struktur ini menciptakan saling ketergantungan.35

Cooperative learning teknik jigsaw adalah suatu tipe cooperative learning yang terdiri dari beberapa anggota dalam suatu kelompok yang bertanggung jawab atas penguasaan bagian materi belajar dan mampu mengajarkan bagian tersebut kepada anggota lainnya dalam kelompok (Arends, 1997). Model cooperative learning teknik jigsaw merupakan model pembelajaran kooperatif, dengan siswa belajar dalam kelompok yang terdiri dari 4-6 orang secara heterogen dan bekerjasama saling ketergantungan yang positif dan bertanggung jawab atas ketuntasan bagian materi pelajaran yang harus dipelajari dan menyampaikan materi tersebut kepada anggota kelompok yang lain.36

Menurut Melvin L. Silberman yang diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, metode belajar jigsaw serupa dengan pertukaran kelompok dengan kelompok (yaitu metode belajar dimana tugas-tugas yang berbeda diberikan kepada kelompok siswa yang berbeda, dan hasilnya setiap kelompok akan “mengajarkan” kepada siswa lain apa yang dipelajari), namun yang berbeda pada metode jigsaw ini siswa akan mengajarkan kepada teman kelompoknya sehingga dapat terbentuknya kumpulan pengetahuan pada kelompok tersebut. Kumpulan pengetahuan tersebut dapat terbentuk karena setiap siswa memiliki tanggung jawab yang sama untuk membantu teman sekelompoknya menguasai materi yang telah siswa tersebut kuasai sebelumnya.37

Penggunaan teknik jigsaw dapat digunakan dalam mata pelajaran ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, matematika, agama, dan bahasa dan teknik ini juga dapat digunakan untuk semua kelas atau tingkatan.

Teknik jigsaw digunakan untuk mengembangkan keahlian dan keterampilan yang diperlukan untuk menggolongkan aktivitas yaitu mendengarkan, menyampaikan, kerjasama, refleksi, dan keterampilan memecahkan masalah. Teknik jigsaw adalah suatu teknik kerja kelompok untuk belajar dan partisipasi dalam kelompok, dengan kegiatan sebagai berikut :

a. Listening (mendengarkan), siswa aktif mendengarkan dalam materi yang dipelajari dan mampu memberi pengajaran pada kelompok aslinya.

b. Speaking-student (berkata), akan menjadikan siswa bertanggung jawab menerima pengetahuan dari kelompok baru dan menyampaikannya kepada pendengar baru dari kelompok aslinya.

c. Kerjasama setiap anggota dari tiap kelompok bertanggung jawab untuk sukses dari yang lain dalam kelompok.

d. Refleksi pemikiran dengan berhasil melengkapi, menyelesaikan kegiatan dalam kelompok yang asli, harus ada pemikiran reflektif yang menerangkan tentang yang dipelajari dalam kelompok ahli.

e. Berpikir kreatif, setiap kelompok harus memikirkan penyelesaian yang baru dalam mengajarkan dan mempresentasikan materi.38

Tujuan teknik jigsaw :

1. Menyajikan metode alternatif di samping ceramah dam membaca.

2. Mengkaji kebergantungan positif dalam menyampaikan dan menerima informasi diantara anggota kelompok untuk mendorong kedewasaan berpikir.

3. Menyediakan kesempatan berlatih bicara dan mendengarkan untuk melatih kognisi siswa dalam menyampaikan materi. 39

Langkah-langkah teori jigsaw dalam cooperative learning

a) Tahap Cooperative

Siswa ditempatkan dalam suatu kelompok kecil (kelompok dibentuk berdasarkan ranking) yang disebut kelompok kooperatif dan siswa menerima sebagian informasi yang harus dibahas atau dipecahkan dalam kelompok kooperatif tersebut.

b) Tahap Ahli

Setelah mendapat sebagian informasi beserta tugas tertentu siswa harus menjadi pakar atau mengenai bidang yang menjadi tugasnya masing-masing. Untuk itu siswa harus mencari dari kelompok lain yang mendapat tugas yang sama, kemudian bekerja sama melakukan hal-hal berikut: bekerja sama dan menjadi pakar dibidang bacaan atau informasi yang telah siswa kuasai kepada anggota kelompok kooperatif.

c) Tahap Lima Serangkai

Siswa kembali kepada anggota kelompoknya, dengan demikian pada saat yang sama siswa akan menerima pelajaran dari anggota lain.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa cooperative learning teknik jigsaw adalah suatu teknik pembelajaran yang didasarkan pada bentuk struktur multifungsi kelompok belajar yang dapat digunakan pada semua pokok bahasan dan semua tingkatan untuk mengembangkan keahlian dan keterampilan setiap anggota kelompok, teknik jigsaw terdiri dari dua bentuk diskusi, yaitu diskusi kelompok ahli dan diskusi kelompok asal sehingga dalam metode pembelajaran ini tergantung pada dan belajar dari orang lain dan menciptakan saling ketergantungan bagi setiap anggota kelompok. Teknik jigsaw sangat memungkinkan untuk diterapkan teknik jigsaw dalam pembelajaran pendidikan agama Islam.

C. Cooperative Learning Dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam

1. Pengertian pembelajaran Pendidikan agama Islam

Pembelajaran adalah istilah yang dipakai untuk menyebutkan segala aktivitas yang dilakukan dengan sengaja oleh peserta didik untuk mencapai tujuan belajar. Tujuan belajar berkaitan dengan perubahan tingkah laku peserta didik yang meliputi aspek-aspek pengetahuan, keterampilan, sikap, nilai-nilai, dan aspirasi. Aspek-aspek tersebut dimiliki oleh peserta didik melalui pengalaman belajar. Di dalam kegiatan belajar kelompok, pengalaman belajar itu tidak saja diperoleh melalui interaksi antar peserta didik dan antara peserta didik dengan lingkungan sosial. Dalam hal yang disebut terakhir, pengalaman tersebut diperoleh melalui kegiatan saling belajar.40

Hakikat pembelajaran adalah usaha-usaha yang ditempuh oleh guru agar dengan usaha-usaha tersebut ia dapat membelajarkan siswa. Hal tersebut dapat diwujudkan guru dengan cara membuat program pembelajaran berdasarkan kurikulum yang berlaku atau dengan membuat suatu desain instruksional. Atas dasar desain tersebut seorang guru membuat agar siswa menyusun jadwal belajar atau program pembelajaran di rumah mereka sendiri. Guru sebagai pendidik melakukan rekayasa pembelajaran. Rekayasa pembelajaran tersebut dilakuikan berdasarkan kurikulum yang berlaku.41

Munculnya anggapan-anggapan yang kurang menyenangkan tentang pendidikan agama seperti; Islam diajarkan lebih pada hafalan (padahal Islam penuh dengan nilai-nilai) yang harus dipraktikan. Pendidikan agama lebih ditekankan pada hubungan formalitas antara hamba dengan Tuhannya, penghayatan nilai-nilai agama kurang dapat penekanan dan masih terdapat sederetan respon kritis terhadap pendidikan agama. Hal ini disebabkan penilaian kelulusan siswa dalam pelajaran agama diukur dengan berapa banyak hafalan dan mengerjakan ujian tertulis di kelas yang dapat didemonstrasikan oleh siswa.

Memang pola pembelajaran tersebut bukanlah khas pola pendidikan agama. Pendidikan secara umum pun diakui oleh para ahli dan pelaku pendidikan negara kita yang juga mengidap masalah yang sama. Masalah besar dalam pendidikan selama ini adalah kuatnya dominasi pusat dalam menyelenggarakan pendidikan sehingga yang muncul uniform sentralistik kurikulum, model hafalan dan monolog, materi ajar yang banyak, serta kurang menekankan pembentukan karakter bangsa.42

Peran guru dalam pembelajaran yaitu membuat desain instruksional, menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar. Bertindak mengajar atau membelajarkan, mengevaluasi hasil belajar yang berupa dampak pengajaran. Peran siswa adalah bertindak belajar, yaitu mengalami proses belajar, mencapai hasil belajar dan menggunakan hasil belajar yang digolongkan sebagai dampak penggiring.dengan belajar, maka kemampuan mental semakin meningkat. Hal itu sesuai dengan perkembangan siswa yang beremansipasi diri sehingga ia menjadi utuh dan mandiri.

Kegiatan pembelajaran terjadi melalui interaksi antara peserta didik disatu pihak dengan pendidik dipihak lain. Interaksi antara peserta didik dengan pendidik berada dalam situasi kegiatan pembelajaran. Kegiatan pembelajaran dilakukan oleh peserta didik dan kegiatan membelajarkan dilakukan oleh pendidik.

Kegiatan belajar merupakan akibat berlangsungnya fungsi pembelajaran. Funggsi pembelajaran merupakan upaya mendorong, mengajak, membimbing, dan melatih yang dilakukan oleh pendidik supaya peserta didik melakukan kegiatan belajar untuk memenuhi kebutuhan belajar dan kebutuhan pendidikan dalam upaya memuaskan pemenuhan kebutuhan hidupnya.43

Apabila memakai istilah pembelajaran agama di sekolah SMP maka hal itu berarti segala aktivitas dan usaha guru dalam membelajarkan siswa di sekolah menengah pertama sehingga dengan usaha tersebut siswa SMP dapat mencapai hasil belajar meliputi keimanan (tauhid), fiqh, sejarah Islam, akhlak dengan baik.

Proses belajar mengajar pada materi pendidikan agama Islam di SMP kebanyakan pada saat ini sudah menggunakan kurikulum berbasis kompetensi. Dengan kurikulum tersebut siswa dituntut lebih aktif dalam belajar dibandingkan dengan aktivitas mengajar guru, siswa dituntut untuk dapat menyelesaikan, masalah sendiri, mengoptimalkan ranah affektif, kognitif,dan psikomotorik dengan latihan-latihan dan tugas yang dibebankannya oleh guru kepada mereka.

Tugas-tugas tersebut tidak hanya LKS dan PR saja, melainkan program-program guru yang telah disiapkannya untuk siswa dalam usahanya membelajarkan siswa.

2. Tujuan dan Ruang Lingkup Pendidikan Agama Islam

Secara umum, pendidikan agama Islam bertujuan: “ untuk meningkatkan keimanan, pemahaman penghayatan, keyakinan dan pengamalan peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.”44

Di dalam GBPP PAI mata pelajaran pendidikan agama Islam kurikulum 1999, tujuan PAI tersebut lebih dipersingkat lagi, yaitu: “agar siswa memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam sehingga menjadi manusia muslim yang beriman, bertaqwa kepada Allah SWT dan berakhlak mulia”. Rumusan tujuan PAI ini mengandung pengertian bahwa proses pendidikan agama Islam yang dilalui dan dialami oleh siswa di sekolah dimulai dari tahapan kognisi, yakni pengetahuan dan pemahaman siswa terhadap ajaran dan nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran Islam, untuk selanjutnya menuju ke tahapan afeksi, yakni terjadinya proses internalisasi ajaran dan nilai agama ke dalam diri siswa, dalam arti menghayati dan meyakininya. Tahapan afeksi ini terkait dengan kognisi, dalam arti penghayatan dan keyakinan siswa menjadi kokoh jika dilandasi oleh pengetahuan dan pemahamannya terhadap ajaran dan nilai agama islam. Melalui tahapan afeksi tersebut diharapkan dapat tumbuh motivasi dalam diri siswa dan bergerak untuk mengamalkan dan mantaati ajaran Islam (tahapan Psikomotorik) yang telah diinternalisasikan dalam dirinya. Dengan demikian, akan terbentuk manusia muslim yang beriamn, bertaqwa dan berakhlak mulia.

Untuk mencapai tujuan tersebut maka ruang lingkup materi PAI (kurikulum 1994) pada dasarnya mencakup tujuh ruang lingkup pokok, yaitu: Al-quran – Hadits, Keimana syariah, Ibadah, Muamalah, Akhlak, dan Tarikh (sejarah Islam) yang menekankan pada perkembangan politik. Pada kurikulum tahun 1999, dipadatkan menjadi lima pokok, yaitu: Al-quran, Keimanan, Akhlak, Fiqh dan bimbingan ibadah, serta Tarikh atau sejarah yang lebih menekankan pada perkembangan ajaran agama, ilmu pengetahuan dan kebudayaan.45

Pendidikan agama Islam di sekolah bertujuan untuk meningkatkan keyakinan, pemahaman, penghayatan dan pengamalan siswa tentang agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi.46

Mata pelajaran pendidikan agama Islam itu secara keseluruhannya dalam lingkup Al-Quran dan al-hadis, keimanan, fiqh/ibadah, dan sejarah, sekaligus menggambarkan bahwa ruang lingkup pendidikan agama Islam mencakup perwujudan keserasian, keselarasan dan keseimbangan hubungan manusia dengan Allah SWT, diri sendiri, sesama manusia, mahluk lainnya maupun lingkungannya (Hablun minallah wa hablun minannas). 47

Ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad dari Allah berisi pedoman pokok yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya (Allah), dengan dirinya sendiri, dengan manusia sesamanya, dengan mahluk bernyawa yang lain, dengan benda mati dan alam semesta ini. Ajaran ini diturunkan Allah untuk kesejahteraan hidup manusia di dunia ini dan di akhirat nanti.

Ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad ini, lebih lengkap dan lebih sempurna dari ajaran-ajaran yang dibawa oleh Nabi-Nabi sebelumnya. Karena agama Islam memuat ajaran tentang tata hidup yang meliputi seluruh aspek kehidupan manusia, maka pengajaran Agama Islam sebenarnya harus berarti pengajaran tentang tata hidup yang berisi pedoman pokok yang akan digunakan oleh manusia dalam menjalani kehidupannya di dunia ini dan untuk menyiapkan kehidupan yang sejahtera di akhirat nanti.

Dengan demikian berarti bahwa ruang lingkup pengajaran Agama Islam itu luas sekali meliputi seluruh aspek kehidupan.48

3. Fungsi Pendidikan Agama Islam

Kurikulum pendidikan agama Islam untuk sekolah/madrasah berfungsi sebagai berikut:

1) Pengembangan, yaitu meningkatkan keimanan dan ketakwaan peserta didik kepada Allah SWT yang telah ditanamkan dalam lingkungan keluarga. Pada dasarnya dan pertama-tama kewajiban menanamkan keimanan dan ketakwaan dilakukan oleh setiap orang tua dalam keluarga. Sekolah berfungsi untuk menumbuhkembangkan lebih lanjut dalam diri anak melalui bimbingan, pengajaran dan pelatihan agar keimanan dan ketaqwaan tersebut dapat berkembang secara optimal sesuai dengan tingkat perkembangannya.

2) Penanaman nilai sebagai pedoman hidup untuk mencari kebahagian hidup di dunia dan di akhirat.

3) Penyesuaian mental, yaitu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial dan dapat mengubah lingkungannya sesuai dengan ajaran agama Islam. Penyesuaian mental, yaitu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial dan dapat mengubah lingkungannya sesuai dengan ajaran agama Islam.

4) Perbaikan, yaitu untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan, kekurangan-kekurangan peserta didik dalam keyakinan, pemahaman dan pengalaman ajaran dalam kehidupan sehari-hari.

5) Pencegahan, yaitu untuk menangkal hal-hal negatif dan lingkungannya atau dari budaya lain yang dapat membahayakan perkembangannya menuju manusia Indonesia seutuhnya.

6) Pengajaran tentang ilmu pengetahuan keagamaan secara umum (alam nyata dan nir-nyata), sistem dan fungsional.

7) Penyaluran, yaitu untuk menyalurkan anak-anak yang memiliki bakat khusus di bidang agama Islam agar bakat tersebut dapat berkembang secara optimal sehingga dapat dimanfaatkan untuk dirinya sendiri dan bagi orang lain.49

4. Karakteristik Pendidikan Agama Islam

Sebagai mata pelajaran, rumpun mata pelajaran, atau bahan kajian, PAI memiliki ciri khas atau karakteristik tertentu yang membedakannya dengan mata pelajaran lain. Adapun karakteristik mata pelajaran PAI itu dapat dijelaskan sebagai berikut:

1) PAI merupakan rumpun mata pelajaran yang dikembangkan dari ajaran-ajaran pokok (dasar) yang terdapat dalam agama Islam. Karena itulah PAI merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari ajaran Islam. Ditinjau dari segi isinya, PAI merupakan mata pelajaran pokok yang menjadi salah satu komponen, dan tidak dapat dipisahkan dari rumpun mata pelajaran yang bertujuan mengembangkan moral dan kepribadian peserta didik.

2) Tujuan PAI adalah untuk terbentuknya peserta didik yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT, berbudi pekerti yang luhur (berakhlak mulia), memiliki pengetahuan tentang ajaran pokok agama Islam dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, serta memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam tentang Islamsehingga memadai baik untuk kehidupan bermasyarakat maupun untuk melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi.

3) Pendidikan agama Islam, sebagai sebuah program pembelajaran, diarahkan pada (a) menjaga akidah dan ketaqwaan peserta didik, (b) menjadi landasan untuk lebih rajin mempelajari ilmu-ilmu lain yang diajarkan di madrasah, (c) mendorong peserta didik untuk kritis, kreatif, dan inovatif dan (d) menjadi landasan perilaku dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat. PAI bukan hanya mengajarkan pengetahuan tentang agama Islam, tetapi juga untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari (mengembangkan etika sosial)

4) Pembelajaran PAI tidak hanya menekankan penguasan kompetensi kognitif saja, tetapi juga afektif dan psikomotoriknya.

5) Isi mata pelajaran PAI didasarkan dan dikembangkan dari ketentuan-ketentuan yang ada dalam dua sumber pokok ajaran Islam, yaitu Al quran dan sunnah Nabi Muhammad SAW (dalil naqli). Di samping itu materi PAI juga diperkaya dengan hasil-hasil istinbath atau ijtihad (dalil aqli) para ulama sehingga ajaran-ajaran pokok yang bersifat umum lebih rinci dan mendetail.

6) Materi PAI dikembangkan dari tiga kerangka dasar ajaran Islam, yaitu aqidah, syariah, dan akhlak. Aqidah merupakan penjabaran dari konsep iman, syariah merupakan penjabaran dari konsep Islam, dan akhlak merupakan konsep dari ihsan. Dari tiga konsep dasar itulah berkembang berbagai kajian keIslaman, termasuk kajian-kajian yang terkait dengan ilmu teknologi, seni dan budaya.

7) Out put program pembelajaran PAI di sekolah adalah terbentuknya peserta didik yang memiliki akhlak mulia (budi pekerti yang luhur) yang merupakan misi utama dari diutusnya Nabi Muhammad SAW di dunia. Pendidikan akhlak (budi pekerti) adalah jiwa pendidikan dalam Islam sehingga pencapaian akhlak mulia (karimah) adalah tujuan sebenarnya dari pendidikan. Dalam hubungan ini, perlu ditegaskan bahwa pembelajaran PAI tidak identik dengan menafikan pendidikan jasmani dan pendidikan akal. Keberadaan program pembelajaran selain PAI menjadi kebutuhan bagi peserta didik yang tidak dapat diabaikan. Namun demikian. Pencapaian akhlak mulia justru mengalami kesulitan jika hanya dianggap menjadi tanggung jawab mata pelajaran PAI. Dengan demikian, pencapaian akhlak mulia harus menjadi tanggung jawab semua pihak termasuk mata pelajaran non PAI dan guru-guru yang mengajarnya. Ini berarti meskipun akhlak itu tampaknya hanya menjadi muatan mata pelajaran PAI, mata pelajaran lain juga perlu mengandung muatan akhlak. Lebih dari itu, semua guru harus memperhatikan ahklak peserta didik dan berupaya menanamkannya dalam setiap proses pembelajaran. Jadi, pencapaian akhlak mulia tidak cukup hanya melalui mata pelajaran PAI.

Demikian karakteristik Pendidikan Agama Islam (PAI). Guru perlu mengembangkannya lebih lanjut dengan rambu-rambu ini, sehingga implementasi kurikulum PAI sesuai dengan kebutuhan dan kondisi peserta didik, madrasah dan masyarakat.50

5. Penerapan Teknik Jigsaw dalam Pembelajaran Agama Islam

Dengan teknik jigsaw ini guru memperhatikan skemata atau latar belakang pengalaman siswa dan membantu siswa mengaktifkan skemata ini agar bahan pelajaran menjadi lebih bermakna. Selain itu, siswa bekerja dengan siswa dalam suasana gotong royong dan mempunyai banyak kesempatan untuk mengolah informasi dan meningkatkan keterampilan komunikasi.

Jigsaw didesain untuk meningkatkan rasa tanggung jawab siswa secara mandiri juga dituntut saling ketergantungan yang positif (saling memberi tahu) terhadap teman sekelompoknya. Kunci teknik jigsaw ini adalah interdependensi setiap siswa terhadap anggota tim yang memberikan informasi yang diperlukan dengan tujuan agar dapat mengerjakan tugas dengan baik.

Menurut Elliot Aronson pelaksanaan kelas jigsaw, meliputi 10 tahap yaitu :

1. Membagi siswa ke dalam kelompok jigsaw dengan jumlah 5-6 orang.

2. Menugaskan satu orang siswa dari masing-masing kelompok sebagai pemimpin, umumnya siswa yang dewasa dalam kelompok itu.

3. Membagi pelajaran yang akan dibahas ke dalam 5-6 segmen.

4. Menugaskan tiap siswa untuk mempelajari satu segmen dan untuk menguasai segmen mereka sendiri.

5. Memberi kesempatan kepada para siswa itu untuk membaca secepatnya segmen mereka sedikitnya dua kali agar mereka terbiasa dan tidak ada waktu untuk menghafal.

6. Bentuklah kelompok ahli dengan satu orang dari masing-masing kelompok jigsaw bergabung dengan siswa yang lain yang memiliki segmen yang sama untuk mendiskusikan poin-poin yang utama dari segmen mereka dan berlatih presentasi kepada kelompok jigsaw mereka.

7. Setiap siswa dari kelompok ahli kembali ke kelompok jigsaw mereka.

8. Mintalah masing-masing siswa untuk menyampaikan segmen yang dipelajarinya kepada kelompoknya, dan memberi kesempatan kepada siswa-siswa yang lain untuk bertanya.

9. Guru berkeliling dari kelompok satu ke kelompok yang lainnya, mengamati proses itu. Bila ada siswa yang mengganggu segera dibuat intervensi yang sesuai oleh pemimpin kelompok yang ditugaskan.

Pada akhir bagian beri ujian materi sehingga siswa tahu bahwa pada bagian ini bukan hanya game tapi benar-benar harus menguasai.

Namun tidak semua mata pelajaran Pendidikan Agama Islam dapat menggunakan pendekatan cooperative learning teknik jigsaw, seperti pengajaran tentang tauhid yang memang lebih tepat jika digunakan metode ceramah, tanya jawab, dan diskusi karena dalam tauhid terdapat nilai-nilai normatif dan dogma-dogma yang memang sulit jika disampaikan dengan menggunakan pendekatan cooperative learning teknik jigsaw. Begitu juga dengan mata pelajaran Al-Qur’an Hadits dan akidah akhlak yang semuanya itu tergantung pada materi yang akan diajarkan apakah dapat sampaikan dengan menggunakan cooperative learning teknik jigsaw atau tidak.51

Tidak ada satu teknik pun yang sempurna demikian juga dengan cooperative learning teknik jigsaw pasti mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kelebihan teknik jigsaw antara lain: mengajarkan nilai kerjasama, meningkatkan kepercayaan diri, membantu siswa antar yang satu dengan yang lainnya dan meniungkatkan keterampilan hidup bergotong royang. Kelemahan yang dimiliki teknik jigsaw antara lain: saling mengandalakan satu dengan yang lain pada saat diskusi, kurang senang mendapatkan penjelasan dari teman, dan memerlukan waktu yang cukup panjang.



[1] Wina Sanjaya, Pembelajaran Dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kurikulum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), Cet ke-2,h. 101

[2] Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta: PT Rineka Cipta), cet ke-2, h. 61

[3] Abdul Madjid, Perencanaan Pembelajara Mengembangkan Standar Kompetensi Guru, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005), cet ke-1,h. 134, h. 134

[4] M.Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bina Aksara, 1987),h. 97

[5] H.Muzayyin Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Umum dan Agama, (Semarang: CV.Toha Putera),h. 90

[6] Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan Suatu Pendekatan Baru, (Bandung: Remaja Rosdakarya,1996),h. 202

[7] Dr. Wina Sanjaya, M.Pd, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, (Jakarta: Prenada Media, 2006), Cet. 5, h. 127

14 Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan, (Yogyakarta: Kanisius, 1997), h. 5.

15 Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan, h.12

16 Wahiduddin. S, Pengaruh Pembelajaran Kooperative Terhadap Hasil Belajar, (Forum Pendidikan, Maret 2003), No.1 thn.28, h. 3-4

17 Siswoyo, Konstruktivisme Dalam Pembelajaran IPA, (Jakarta: FMIPA UNJ, 2000), No. 1, Volume 1, h. 13-21.

18 Kauchak Egged Jabobson, Method For Teaching: A Skill Approach, (Ohio: Merril Publishing Company, 1989), h. 345.

[8] Dra. Hj. Etin Solihatin, M.Pd. Raharjo, S.Pd, Cooperative Leaning: Analisis Model Pembelajaran IPS…h. 5

20 Dra. Hj. Etin Solihatin, M.Pd. Raharjo, S. Pd, Cooperative Learning: Analisis Model Pembelajaran IPS…hal.4-5

21 Eman Suherman, Strategi Pembelajaran Matematika Komtemporer, (Bandung: UPI), h. 260.

22 Khairul Anam, Implementasi Cooperative Learning Dalam Pembelajaran Geografi. Adaptasi Model Jigsaw Dan Field Study, (Buletin Pelangi Pendidikan, Vol. 3, No. 2, Tahun 2000), h. 2-3.

23 Anita Lie, Cooperative Learning: Mempraktikan Cooperative Learning Di Ruang-ruang Kelas, (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2002), h. 27-28.

24 Etin Solihatin, Pengembangan Model Cooperative Learning, (Jurnal Ilmiah Mimbar Demokrasi, Vol. 1, No. 1, Oktober, 2001), h. 59-60.

25 Wakhinuddin S, Pengaruh Model Cooperative Learning, (Forum Pendidikan, No. 01, Edisi Maret 2003), h. 3.

26 Barokah Santoso, Cooperative Learning: Penerapan Teknik Jigsaw Dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Di SLTP, (Buletin Pelangi Pendidikan, Vol. 1, No. 1,1998/1999), h. 6.

27 Robert E. Slavin, Cooperative Learning: Teori, Riset dan Praktik, (Bandung: Nusa Media, 2008), Cet. 1, h. 34

28 Ngalim Purwanto, MP, Psikologi Pendidikan, (Bandung:Remaja Rosdakarya), Cet ke-5,h.71

29 Robert E. Slavin, Cooperative Learning…, h. 36.

30 Robert E. Slavin, Cooperative Learning..., h. 37

31 Robert E. Slavin, Cooperative Learning..., h. 38

32 Anita Lie, Mempraktekan…, h. 30

33 Robert E. Slavin, Cooperative Learning...h. 41

34 Khairul Anam, Implementasi Kooperatif Learning dalam Pembelajaran Geografi. Adaptasi Model Jigsaw, h. 68

35 Kai Hakkairanen, Jigsaw, http://www.articel.net/jigsaw/hakkiranen.html.

36 http://www.damandiri.or.id/file/yusufunsbab2.pdf).

37 Melvin L. Silberman (diterjemahkan oleh raisul Muttaqien), Active Learning: 101 Cara Belajar Siswa Aktif, (Bandung: Nuansa dan Nusamedia, 2004), Cet ke-3, h.178-180

38 Kai Hakkairanen, Jigsaw, http://www.articel.net/jigsaw/hakkiranen.html.

39 Khairul Anam, Implementasi Kooperatif Learning dalam Pembelajaran Geografi Adaptasi Model Jigsaw …, h. 3.

40 Sudjana S. Strategi Pembelajaran, (Bandung: Falah Production, Juli 2000), Cet ke-3, Edisi Revisi, h. 96.

41 Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: Rineka Cipta, November 2002), Cet ke-2, h. 1-5.

42 Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi, (Bandung: remaja Rosdakarya, Maret 2004), Cet ke-1, h.131

43 Sudjana S, Strategi Pembelajaran…h. 103-113.

44 GBPP PAI, 1994.

45 Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, (Bandung: Rosda Karya, 2004), Cet ke-3, h. 79

46 Ramayulis, Metodologi Pembelajaran Agama Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, Januari, 2001), cet ke-3, h. 104

47 Abdul Majid dan Dian Andayan Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi,…h. 131

48 Zakiyah Daradjat, Metodik Khusus pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, Agustus 2001), Cet ke-2, h. 59-60

49 Abdul Majid dan Dian Andayan, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi…h. 134

50 Departemen Agama RI, Pedoman Pendidikan Islam, (Jakarta: Derektorat Jendral Kelembagaa Agama Islam, Juni 2004), h. 2-4

51 Zakiyah Daradjat, Metodik Khusus pengajaran Agama Islam…h. 312